Tags

, , ,

 

 never say goodbye

 

Jika kau adalah hujan,
Maka aku hanyalah sehelai rumput yang selalu mengharap hadirmu
Jika kau adalah angin,
Maka aku hanyalah sehelai daun yang berharap kau ajak terbang
Jika kau adalah kau
Maka aku hanyalah aku yang berharap bisa kau lihat…

 

Namaku Kim Yoon Hye dan aku jatuh cinta pada Kim Taehyung. Benar, Kim Taehyung. Seorang namja yang lebih muda empat tahun dariku. Aku selalu bertanya-tanya, selama dua puluh dua tahun dalam hidupku mengapa pada akhirnya aku jatuh cinta kepadanya? Mereka bilang aku cantik, seharusnya tidak sulit untukku mendapatkan kekasih. Tapi mengapa kepadanya hatiku tertaut? Kepada namja yang masih duduk di kelas dua belas seoul art senior higschool.

Aku seorang mahasiswi di Kyunghe university sekaligus seorang pegawai di sebuah perpustakaan umum terbesar di Seoul. Sejak masuk universitas, aku tinggal sendiri di Ibu Negara ini. Meninggalkan kota kelahiranku di Busan sana. Sudah tiga tahun pula aku mengenalnya. Kim Taehyung, seorang namja yang menjadi tetanggaku.

Sejak masuk senior highschool, Kim Taehyung tinggal sendiri karena sepertinya dia berasal dari keluarga yang sedikit rumit. Yang aku tau, dia selalu menghindar saat aku bertanya tentang keluarganya. Dia tidak akur dengan hyung-nya tapi aku tau bahwa dia amat sangat menyanyangi eommanya.

“Jadi… Kenapa anak kecil sepertimu tinggal sendiri di sini, eoh? Di mana orang tuamu?” tanyaku saat pertama kali bertemu dengannya.

“Yaa! Siapa yang kau sebut anak kecil eoh? Aku sudah delapan belas tahun!”

“Tapi kau belum legal.”

Wajahnya menatapku curiga, “Memang berapa umurmu?”

“Aku? Sekarang aku hampir selesai kuliah di Kyunghee university. Jadi menurutmu berapa umurku?”

“OMO!” matanya terbelalak menatapku “Mianhae Ajhuma, na_”

Detik itu juga kepalanya terkena lemparan dari buku yang kubawa, “Siapa yang kau panggil Ajhuma hah? Panggil aku Nunna!”

“Tunggu… Tadi kau bilang Kyunghee university?” tatapnya memincing, “Kau bukan mata-mata dari Hyungku kan?”

“Kenapa dengan Hyung mu?”

“Dia juga kuliah di sana, dan jangan pernah berkenalan dengannya! Dia galak!”

“Aigooo… Kyeopta hahahah” aku mengacak rambutnya, wajahnya yang merengut itu benar-benar lucu.

“Jangan menjadikanku anak kecil!!!”

Dia yang mengajariku banyak hal sejak kedatanganku ke Seoul. Cukup terkejut mengetahui kalau ia suka sekali melihat drama. Kami sering menghabiskan waktu di flatku untuk menonton bersama. Ketika aku menangis, dia yang membawa kotak tissue untukku. Dan lama kelamaan, flatku sudah menjadi flatnya juga.

Aku tidak menyangka bahwa kehadirannya punya peranan besar dalam duniaku. Menjadikan terang saat gelap, Menjadikan warna dari abu-abu. Dan menjadikan tawa dari tangis.

Ini gila. Aku tidak pernah berharap bisa jatuh cinta dengan namja yang lebih muda dariku. Tapi, semakin aku menolaknya, semakin tidak masuk akal untuk logikaku, aku semakin bertanya-tanya apakah ini benar-benar cinta?

Apa itu cinta?

Masih perlukah dituliskan maknanya bila setiap aksara tidak pernah habis untuk merangkainya?

 

“Ternyata benar, kau memang Ajhuma. Minum sendiri malam-malam seperti ini tanpa kekasih. Aigoo… Kasihan sekali…”

Suara itu membuatku tersadar. Aku menoleh dan melihatnya sudah duduk di hadapanku. Sejak kapan dia masuk ke kedai soju ini? Kulihat dia masih memakai seragam dengan tas selempang yang menahan jaketnya.

“Kenapa kau ada di sini?” tanyaku mengambang.

“Seharusnya aku yang bertanya seperti itu. Kenapa kau minum sendiri di sini? Apa ada masalah di perpustakaan?”

Aku menggeleng pelan sambil menuang soju pada gelasku. Seandainya saja dia tau kenapa aku selalu mampir untuk minum… Terlalu sesak untuk bertemu dengannya. Menatap matanya. Mendengar suaranya. Anggap saja aku takut gila.

“Kenapa kau takut gila?” tanyanya.

Aku tersentak. Menatapnya ngeri. Sejauh mana aku menyuarakan pikiranku tadi?

Sepertinya aman, karena dia tidak berkomentar lagi. Tangannya merebut botol soju di hadapanku, hendak meneguknya. Seketika itu juga aku merampasnya. “Kau belum cukup untuk minum. Makan kulit babi ini saja!” balasku tanpa menjawab pertanyaannya.

“Sudah kubilang, jangan anggap aku anak kecil. Lagipula aku sudah pernah meminumnya,” gerutunya, “araseo. Karena aku sedang tidak membutuhkannya sekarang.” Senyumnya sambil menyumpit salah satu potongan kulit babi dari atas panggangan.

“Wae? Kau terlihat senang sekarang.”

“Coba tebak.”

“Yaa, aku sedang tidak ingin bermain tebak kata sekarang. Cepat katakan!”

“Aku baru saja kencan dengan Hyerin. Ini hari ulang tahunnya.”

“Oh…” gumamku. Menyembunyikan rasa sedih pada kilat tatapanku. Sekali lagi dia mengingatkan bahwa hatinya sudah ada yang memiliki.

Bukannya aku menerima begitu saja perasaan ini. Sudah banyak cara yang kulakukan. Mulai dari mencari hobi baru, pekerjaan lebih banyak, hingga kekasih. Namun tetap saja tidak ada satu pun yang berhasil membuatku mengalihkan pikiran dari sosoknya.

“Waegeure? Kau terlihat sedih,” tanyanya tiba-tiba.

“Gwenchana. Geunyang kka! Aku masih ingin di sini sendiri. Kau harus cepat tidur, ini sudah malam.” jawabku lalu menegak lagi segelas soju.

“Araseo! Tapi kau harus ikut pulang bersamaku.” Balasnya sambil menyambar tasku, mengambil dompet, membukanya lalu meletakkan beberapa lembar uang di meja sementara aku hanya menatapnya seperti orang idiot. Siapa pemilik tas itu sebenarnya? “Kkaja!” ajaknya.

Ia beranjak dari duduknya dan langsung berjalan pergi sambil membawa tasku. Aku tersentak saat menyadarinya dan cepat-cepat menyusul. Lihat, kurang ajar sekali namja itu! Sebenarnya, dia sudah kurang ajar seperti ini saat pertama kali kami bertemu. Menganggapku seusianya.

“Yaa!! Berani-beraninya kau!! Cangkaman!! Kembalikan tasku!!”

“Berisik!!”

“Oh, hujan…”

 

Aku sampai di depan pintu flat dengan selamat. Karena nyaris saja aku tertabrak mobil saat mengejarnya melewati jalan raya. Bajuku setengah basah, jadi aku ingin cepat-cepat mandi dan berganti piyama.

“Kapan kau akan membeli payung? Lihat, kita kehujanan.”

“Yaa! Kenapa bukan kau yang membeli? Kenapa harus aku?”

“Agar kau tidak terkena flue, pabo!”

Aku tercenung menatapnya.

“Lagipula, mana mungkin namja setampan aku membeli payung. Di luar sana banyak yeoja yang dengan senang hati mengajakku sepayung berdua.” Cengirnya.

“Cih, percaya diri sekali. Gara-gara kau aku harus berlarian di tengah malam.”

“Bagus sekali… Seharusnya kau harus lebih sering berolah raga. Perutmu sudah penuh dengan lemak!” komentarnya sadis.

Aku mendelik menatapnya. Tidakkah dia tau bahwa menyinggung soal berat badan wanita adalah hal yang diharamkan untuk pria? “Cepat masuk!!! Bye!”

Gerakan tanganku yang sudah akan memutar handle terhenti saat mendengar panggilannya. Aku kembali menatap ke arahnya dan sedikit tertegun saat melihat raut wajahnya yang serius.

“Wae?” tanyaku sedikit takut.

“Apa kau tau perbedaan arti kata goodbye dengan sampai nanti?”

Selama ini aku tidak pernah berpikir tentang dua kalimat itu. Tetapi sekarang saat dia membahasnya, otakku jadi berfikir lagi.

“Saat kau mengucapkan bye atau selamat tinggal, itu artinya kau tidak akan pernah kembali lagi. Dan aku sangat membenci kalimat itu. Jadi mulai sekarang, jangan ucapkan itu lagi, arachi?”

“O-oh, ara…”

“Charaseo, Yoon Hye-ni.” senyumnya sambil mengacak rambutku.

Aku mengangguk pelan seperti orang idiot. Entah masih berfikir tentang dua kalimat itu atau karena melihat senyumnya yang tampan. Sampai aku menyadari sesuatu.

“YAA! Berani-beraninya kau memanggilku_ Panggil aku Nunna!!” teriakku menahannya masuk ke dalam flat tetapi… gagal.

“Shiero!” balasnya sambil tertawa dari dalam, “jangan berisik, tetangga bisa marah!”

Aku menggerutu oleh tingkah kurang ajarnya. Tapi lambat laun kedua ujung bibirku tertarik membentuk sebuah senyum. Mungkin aku memang idiot, karena aku menyukai sikap kurang ajarnya. Aku tidak suka mengalah tapi aku suka dikalahkan. Bersamanya aku selalu kalah tanpa harus mengalah.

Aku tidak suka caramu yang memanggilku

Aku tidak suka caramu yang membuat jantungku berdebar

Aku tidak suka caramu yang membuatku jatuh cinta padamu

*****

Aku tidak tau sejak kapan benang rasaku terpintal menjadi sulaman rindu. Melahirkan sesak karena rinduku yang telah menemukan tempatnya berpulang, tak pernah bisa sampai pada tuannya. Lalu, harus kubuang kemana sebentuk perasaan yang semakin lama semakin membesar hingga rongga hatiku tak lagi dapat menampungnya ini?

Part time job.

Salah satu cara yang kulakukan untuk mengisi liburan semester ini. Berdiam diri di flat dengan pikiran penuh Kim Taehyung itu jelas ide yang sangat buruk. Karena itu aku mencoba bekerja di malam hari dengan menjadi seorang pelayan café di tempat bekerja Park Young Eun, teman satu kuliahku. Dia bilang tempatnya sedang membutuhkan pegawai. Jadi pagi hingga sore aku di perpustakaan dan sore hingga malam, aku bekerja di café. Dengan begitu waktuku bertemu dengan Kim Taehyung akan berkurang.

“Yoon ah!!”

“Tae ah? Sedang apa kau di sini?” tanyaku terkejut. Tidak menyangka akan bertemu dengannya di tempatku bekerja.

“Potong rambut!” gerutunya, “Kau tidak tau orang di café itu sedang apa? Tentu saja untuk minum, makan, mengobrol.”

“Mungkin saja kau jadi tukang service listrik,” sahutku asal, “dengan teman?”

Kim Taehyung mengangguk.

“Chogiyo, boleh aku meminta buku menu lagi?” Tanya seorang pelanggan.

“Oh ne, silahkan!” senyumku sambil mengulurkan sebuah buku menu pada laki-laki itu.

“Cih… dengan namja lain saja kau bisa tersenyum manis. Denganku selalu cemberut. Kau lebih mencintai mereka atau aku?”

Aku mengernyit mendengar kalimat cemburu tidak jelasnya, “Kenapa aku harus tersenyum padamu? Nanti kau jatuh cinta padaku. Kau tidak lihat wajah cantikku ini?”

“Sebelum bertanya, kau seharusnya berkaca dulu. Siapa yang menganggapmu cantik dengan penampilan kacau macam ini? Marmut!” sahutnya sambil pergi.

Mulutku terbuka tanpa ada suara yang keluar sedikit pun. Aku ingin teriak memakinya kalau tidak ingat sekarang sedang bekerja. Belum sempat aku menutup mulut, dengan cengiran bodohnya, Kim Taehyung kembali lagi menghampiriku.

“Aku lupa belum mengatakan pesanan,” katanya ringan dan aku benar-benar harus menahan diri untuk tidak melemparkan buku menu ke kepalanya.

.

.

Dua hari.

Hanya dua hari dia pergi untuk acara sekolahnya tapi kenapa aku jadi begini? Akhir-akhir ini aku yang menghindarinya. Lalu kenapa saat dia pergi aku merasa begitu sesak?

Ternyata semua yang kulakukan untuk mengalihkan pikiranku darinya sia-sia. Kim Taehyung seperti akar tanaman yang tertanam di kepalaku. Sekeras apa pun aku mencoba mencabutnya, tetap saja tidak bisa. Dan semakin hari semakin tumbuh besar.

Pintu flatku diketuk saat aku baru saja selesai mandi. Cepat-cepat kubalut rambutku yang basah dengan handuk lalu berjalan menuju pintu. Sosok yang membuatku sesak sedang berdiri di hadapanku sekarang. Masih dengan tas ransel yang menggantung di punggungnya, sepertinya dia belum masuk ke dalam flatnya sendiri.

“Baru pulang?” tanyaku sambil membuka pintu lebih lebar, membiarkannya masuk. “Waegeure? Kau terlihat kacau.”

“Yoon aaaahhh…” serunya lalu memelukku tiba-tiba. Membuat tubuhku tersentak ke belakang dengan napas tercekat.

“Yaa, lepas!!” aku mendorongnya menjauh. Takut, suara detak jantungku yang tiba-tiba meningkat drastis ini terdengar olehnya.

“Ada yang mengirim fotoku bersama Hyo Ra pada Hyerin. Dan dia marah.” ceritanya. Dilemparnya ransel itu ke atas sofa dengan lesu lalu duduk di lantai, bersandar pada sofa.

“Teman sekelasmu?”

Taehyung mengangguk pelan. “Eothokeh?”

“Siapa yang mengirim?” tanyaku sambil mengulurkan kaleng softdrink padanya.

“Molla… Padahal aku pernah bercerita pada Hyeri kalau aku dekat dengan Hyo Ra saat junior highschool  dulu. Di foto itu aku hanya memeluk bahu Hyo Ra, tapi Hyorin tidak mau mendengarku dan mematikan ponselnya sampai sekarang.”

“Biarkan saja. Mungkin dia sedang sedih. Nanti bicara saja pelan-pelan.”

“Boleh aku tidur di sini? Aku tidak ingin sendirian.” Pintanya dan aku hanya mengangguk pelan.

Ruangan terlihat gelap setelah aku mematikan lampu sejam yang lalu. Namun lelap belum juga menghampiriku. Aku bangun, turun dari tempat tidur lalu kuhampiri namja yang tidur di sofa itu, membenarkan selimutnya. Kutatap lekat dalam sunyi kegelapan. Kusentuh kulitnya dengan ujung jemariku. Garis rahangnya, hidung mancungnya. Wajah tampannya yang masih terlihat kekanakan.

Kehangatan yang menjalar itu seperti arus listrik yang membuat tubuhku bergetar. Tanpa sadar, aku sudah menunduk. Mengecup bibirnya.

Apa ini?

Semu kah? atau Maya?

Tapi mengapa sentuhannya terasa nyata?

 

*****

 

Pagi ini aku meninggalkan Kim Taehyung yang belum bangun tidur. Perpustakaan sedang ada perbaikan sehingga tutup hari ini, membuatku tidak tau harus kemana setelah kelas kuliah berakhir. Akhirnya aku terdampar di bangku taman universitas sejak dua jam yang lalu tanpa melakukan apapun. Melamun.

“Air?”

Aku mengangkat wajah saat melihat tangan seseorang yang mengulurkan sebotol air mineral padaku. “Gomawo, Young ah” jawabku sambil tersenyum pada gadis itu.

“Kenapa kau di sini?” tanyanya sambil duduk di sebelahku.

“Perpustakaan sedang libur dan Café baru buka empat jam lagi jadi aku tidak tau harus kemana.”

“Tidak pulang?”

Aku menggeleng pelan, “Ada Kim Taehyung di flatku.”

“Bukankah itu menyenangkan? Kau bisa menatapnya seharian.” Young Eun terkikik pelan.

“Entah sejak kapan bersamanya menjadi hal yang menyakitkan.”

Tawa Young Eun memudar. Kami berdua sama-sama menatap lurus ke depan. Pada beberapa orang yang sedang bermain basket di lapangan. Tiba-tiba saja Young Eun menghela nafas pelan. Seolah menggantikanku. Memang hanya dia yang tau dan hanya dia satu-satunya teman yang kupunya.

“Jadi… Kau ingin pulang malam hari ini?” tanyanya lagi.

Aku mengangguk pelan, “Tapi aku tidak tau harus apa sekarang.”

Yoon ah, kau tau sekarang di Myeongdong sedang ada bazar dengan diskon besar? Aku sedang butuh asistent hari ini!”

“M-mwo?”

Andwae! Sepertinya aku melihat smirk pada bibir gadis itu. Oh… Ini pasti buruk.

.

.

Aku tidak akan pernah mau lagi belanja bersama Park Young Eun. Gadis itu benar-benar seperti semut menemukan gula saat melihat barang dengan diskon besar. Apapun dibelinya. Benar-benar penggila shoping. Kakiku amat sakit mengikutinya berlarian memburu barang-barang itu.

Ruang flatku begitu gelap saat aku masuk ke dalam. Apa Kim Taehyung sudah pulang? Tetapi sepatunya masih ada di luar. “Tae ah?? Kau masih di sini? Kenapa tidak menyalakan lampu?” tanyaku sambil menekan tombol saklar pada dinding di dekat pintu.

Ruangan seketika terang dan aku terkejut melihatnya sedang duduk di lantai dengan beberapa botol soju berserakan di sekitarnya.

“Oh… Kau sudah pulang, Yoon ah?” tanya Taehyung dengan nada melantur dan mata setengah terpejam.

“Apa kau minum? Wae??” seruku sambil menghampirinya.

“Yoon ah…” rengeknya tiba-tiba, “Sudah tamat…”

“Mwo?”

“Kami udah selesai…” gumamnya setengah sadar, “Hyerin meminta putus.”

Aku terpaku. Membiarkannya meneguk soju yang tersisa. Kemudian dilemparnya botol itu lalu membenamkan wajahnya dalam kedua lengan yang bertumpu di meja. Bahunya berguncang pelan. Kim Taehyung sedang menangis.

 

Kau tau hal paling buruk apa yang pernah aku alami?

Melihatmu terpuruk sementara aku tak bisa melakukan apa-apa.

Karena hanya untuk sekedar memelukmu pun aku tak bisa.

 

*****

 

Aku benci keadaan seperti ini. Aku rindu pada Kim Taehyung yang kurang ajar. Bukan seperti mayat hidup yang enggan melakukan apa-apa seperti ini.

“YAA!! Ini sudah seminggu lebih dan yang kau lakukan hanya mengurung diri di kamar! Sampai kapan kau seperti ini?” teriakku setelah menyingkap selimutnya dengan kasar. “Kau juga tidak pernah menyentuh masakanku.”

“Sedang malas, aku tidak bisa menelan apa pun.”

“Sebenarnya apa yang kau inginkan?”

“Hyerin. Aku menginginkannya.”

DEG

Kalimat jujur itu seperti menusuk tepat di ulu hatiku. Untuk sesaat aku hanya bisa terdiam.

“Hyerin tidak akan pernah kembali padamu kalau kau hanya mengurung diri seperti ini! Kalau dia mencintaimu dia pasti akan kembali. Kalau tidak, kau mati sekali pun dia tidak akan pernah kembali!”

“Aku merindukannya, Yoon ah… Apa yang harus kulakukan?”

Nada kalimat yang diucapkan sambil menahan tangis itu benar-benar membuatku perih. Sebesar itukah rasa yang dimilikinya untuk gadis itu?

“Kalau begitu kenapa kau tidak menemuinya?!” teriakku frustasi. Entah karena tidak tahan melihatnya atau untuk menutupi rasa sesakku. “Temui dia! Peluk! Kalau dia menamparmu itu urusan belakang. Kalau kau pintar, seharusnya kau bisa kabur lebih dulu sebelum dia menamparmu.”

Kim Taehyung hanya diam menatapku. Seolah tersengat lebah, tiba-tiba saja dia bangun, turun dari tempat tidurnya lalu berlari ke kamar mandi. Tidak lama kemudian dia keluar lalu mengganti kaos, menyambar tas dan jaketnya.

“Pasti akan kulakukan apa yang kau katakan. Gomawo, Yoon ah.”

“N-ne… Semoga berhasil…” sahutku gamang. Mataku mengikuti sosoknya yang menghilang di balik pintu. Meninggalkanku dalam ruang legang yang sunyi ini.

Kalian tau siapa orang terbodoh di dunia ini? Orang yang mengerti jika yang dilakukannya adalah suatu kebodohan tapi dia tetap melakukannya. Dan aku termasuk bagian dari orang-orang itu.

Seharusnya aku menjauh darimu, tapi langkahku malah semakin mendekat pada pusaran eksistensimu.

Seharusnya aku menghindarimu, tapi logikaku seolah terseret dukamu yang tak membiarkanku menjauh.

Seharusnya aku meninggalkanmu, tapi magnet hidupmu menarik jiwaku untuk tak menghindari uluran tanganmu.

Mengapa seharusnya tak menjadi telah, dan semestinya tak menjadi sudah?

 

*****

“Kertas apa itu?”

Suara jernih Young Eun membuatku tersentak kaget. Aku heran kenapa yeoja ini selalu bisa menemukanku. Meskipun aku sedang bersembunyi di bawah meja sekali pun, Park Young Eun akan selalu bisa menemukanku. Seperti sekarang saat aku berada di ruang laboratorium sendirian. Apa dia memiliki jadwal kelasku?

“Mwo? Aplikasi pertukaran pelajar?” pekiknya saat menyadari isi dari lembaran yang sedang kupegang, “Kau akan pergi ke Jepang?”

“Entah aku lulus atau tidak.” jawabku pelan.

“Kim Yoon Hye! Nilaimu selalu masuk sepuluh besar, mustahil jika kau tidak lulus. Kau selalu menjadi yang pertama pada kelas Bahasa Jepang!!”

Aku tersenyum kecil mendengarnya, “Aku masih belum yakin mengikuti tes, Young ah…”

Young Eun menghela nafas pelan sambil duduk di sebelahku. Menatap lurus ke depan. “Apa ini karena Kim Taehyung? Sampai-sampai kau ingin terbang jauh dari Korea.”

“Saat berada di tempat yang sama, aku tidak akan bisa menahan diri untuk tidak menemuinya.”

“Kenapa kau tidak mengaku saja kalau kau mencintainya? Bukan dosa kalau kau jatuh cinta pada namja yang lebih muda, Yoon ah…”

“Dunia kami berbeda, Young ah… Aku baru tau kalau ternyata dia mendapat tawaran dari Agency untuk menjadi trainer. Kau tau artinya itu? Dia akan terbang jauh lebih tinggi lagi.”

“Darimana kau tau?”

“Aku tidak sengaja mendengarnya berbicara lewat ponsel tentang hal itu.”

Young Eun menatapku kasihan, “Gwenchana?”

“Aku bukan lagi sekedar basah sekarang. Tapi sudah tenggelam. Satu-satunya cara mungkin dengan aku pergi menjauh.”

“Yoon ah, neo ara? Ternyata sebagian orang yang pergi meninggalkan kita mungkin saja bukan karena mereka benci. Tapi karena mereka mencintai dan tau perasaan itu tidak mungkin tersampaikan. Dan pergi menjadi pilihan terbaik bagi mereka, karena dengan begitu mereka berharap bisa mengurangi rasa sakitnya. Sepertimu.”

Aku menghela napas pelan. Membenarkan pernyataannya.

“Setidaknya kau harus mengatakannya sekali sebelum kau pergi. Apa kau tidak ingin dia tau perasaanmu?”

Untuk beberapa detik aku terdiam. Tidak tau harus menjawab apa. “Aku ingin dia tau, tapi aku takut perasaanku akan menjadi beban untuknya. Lagipula ini terlalu memalukan untukku. Aku tidak ingin dia membenciku.”

“Bagaimana kau bisa tau kalau dia akan membencimu? Kau tidak bisa menentukan masa depan, Yoon ah. Mungkin saja dengan satu kalimat itu bisa merubah segalanya.”

“Dia menyukai Hyerin. Tidak ada alasan lagi lainnya.”

“Tapi_”

“Hentikan!” potongku sambil tersenyum, “Ini masalahku, jangan menjadikanmu beban. Aku harus pergi sekarang, kuhubungi kau lagi nanti.”

“Araseo…”

Aku beranjak dari dudukku dan melangkah pergi. Aku bersyukur setidaknya ada satu orang yang bisa kujadikan tempat untukku bicara karena sekarang aku merasa berjuang tanpa tau apa yang sedang kuperjuangkan. Aku merasa harus menunggu namun tau pasti itu tidak perlu. Dan aku merasa ingin mengakhiri yang sejak awal tak pernah kumulai.


******

 

Sudah dua hari flat Taehyung terlihat gelap. Itu artinya dia belum pulang. Sebenarnya dia pergi ke mana? Apa Hyerin tetap menolaknya sampai dia memutuskan untuk pergi sementara? Aku menghela napas, memikirkannya membuatku kembali sesak. Kim Taehyung selalu membuat waktuku terbuang hanya untuk memikirkannya. Aku menekan password pintu flatku lalu meraih handle. Saat itu juga aku merasa sepasang lengan merengkuhku dari belakang.

Set

Greeb

“Nunna, terima kasih sudah lahir ke dunia ini…”

Tubuhku mematung saat merasakan dekapan yang tiba-tiba itu. Tidak tau harus berbuat apa. Terlebih ketika dia memanggilku Nunna. Hal yang pertama kali dilakukannya.

“Aku dan Hyerin kembali bersama. Saran yang kau berikan benar-benar menyelamatkanku.”

“Geure? Baguslah…” balasku dengan nada mengambang.

Tes

Aku merasakan sesuatu meluncur cepat melewati pipiku. Basah dan hangat. Saling berjatuhan dari kedua mataku.

“Jeongmal gomawo… Nunna selalu ada, jadi aku tidak pernah merasa sendiri. Kau nunna paling baik yang kupunya.”

Aku di sini, selalu ada. Waktu kau sedih ataupun bahagia. Tapi tolong, jangan menoleh saat kau memelukku, karena hanya dengan cara itu aku bisa menyembunyikan air mataku.

Kuhapus dengan cepat aliran air di pipiku. Ini memalukan. Jangan sampai dia melihatnya.

“Kau belum makan, kan? Ayo kutraktir!”

Tanpa menunggu persetujuanku, Kim Taehyung sudah menarikku untuk pergi dan aku tidak bisa menolaknya. Karena itu, di sinilah kami sekarang. Duduk di hadapan semangkok samgyetang yang masih panas.

“Tapi, meskipun hubunganku dengan Hyerin terselamatkan, aku merasa tidak begitu bahagia.”

“Wae?” tanyaku heran.

“Hyo Ra, ternyata dia menyukaiku. Dia juga yang sebenarnya mengirim foto itu. Waktu aku dan Hyerin kembali bersama, dia memberi selamat tapi dengan pipi yang basah. Aku jadi merasa bersalah padanya.”

Lalu bagaimana denganku yang juga baru saja mengeluarkan air mata, Taehyung ah?

“Kami teman baik, dan aku tidak ingin pertemanan ini putus,” lanjutnya.

“Taehyung ah, kau tidak bisa membahagiakan semua orang karena kau bukan malaikat. Untuk melindungi sesuatu yang kau cintai, kau harus bisa menjadi egois. Dengan begitu kau tidak akan kehilangan lagi. Perasaan orang lain itu di luar kemauanmu. Mereka juga harus mencari kebahagiaan itu sendiri. Salah satunya dengan melepas rasa sakitnya. Mereka yang harus bertanggung jawab dengan perasaan yang dipilihnya.” Sepertiku…

Hening…

Apa aku salah bicara? Aku menoleh pada namja di sebelahku dan tiba-tiba saja sebelah tangannya terangkat, mengacak-acak rambutku. “Aigoooo… Sejak kapan kau jadi sepintar ini?”

“Yaa!! Aku ini lebih tua darimu!” seruku sambil menjitak kepalanya.

“Lalu kenapa?” tawanya yang membuatku tidak bisa marah lagi.

Aku menyuap samgyetang dengan gugup, mengalihkan tatapanku darinya. Kenapa aku selalu kalah darinya? Dan kenapa aku suka saat kalah darinya?

.

.

Sejak kapan aku membutuhkanmu untuk hidup?

Perasaan ini luka

Namun setiap aku menjauh kau membuatku goyah

Membuatku berpikir

Jika cinta ini tak salah, lalu bagaimana menjadikannya benar?

Sejak hari itu aku menyibukkan diri di kampus. Taehyung juga harus menghadapi ujian akhir nanti. Kami benar-benar tidak bertemu meskipun hanya untuk saling menyapa. Mungkin ini yang terbaik karena aku ingin membiasakan diri untuk hidup tanpanya. Juga karena aku takut. Saat dia terluka tidak ada yang bisa kulakukan karena kata-kataku tidak akan mampu untuk mengobatinya. Dan saat dia bahagia bersamanya, aku takut hatiku sendiri yang akan pecah.

Aku sudah mengikuti tes pertukaran pelajar itu. Hanya ada tiga orang yang lolos dan aku salah satunya. Tinggal menghitung hari, keberangkatanku ke Jepang sudah di tetapkan. Dan aku belum berniat memberitahu Kim Taehyung sebelum hari itu tiba.

“Apa yang kau lakukan? Anginnya terlalu kencang, kau bisa masuk angin.”

“Kau belum tidur?” tanyaku terkejut saat melihatnya sudah berdiri di balkon flatnya sendiri.

“Tadinya aku ingin menutup pintu, tapi melihatmu aku jadi takut.”

“Takut?”

“Mungkin saja tiba-tiba kau melompat untuk bunuh diri karena depresi belum juga punya kekasih,” tawanya, “hanya bercanda. Sudah lama aku tidak melihatmu.”

Aku mengeluh dalam hati, dia pikir salah siapa aku tidak punya kekasih? “Bagaimana kabarmu?” tanyaku pelan.

“Na gwenchana.”

“Jangan telat makan. Jangan berlatih terlalu keras. Jangan minum soju lagi sebelum umurmu cukup. Ja_”

“Jangan hujan-hujan. Jangan sakit. Seharusnya aku yang mengomelimu. Kapan kau akan membeli payung?”

“Aku lupa…”

“Ternyata benar Ajhuma. Sudah pelupa. Tangkap ini!!”

“YAA!” teriakku terkejut melihatnya melempar sebuah kotak. “mwoya ige?”

“Untukmu, hanya itu yang bisa kuberikan. Bukalah!”

Aku melihat sebuah payung dan sepasang sepatu di dalam kotak itu. Aku menatapnya tidak mengerti. Bukankah dulu dia bilang…

“Lagipula, mana mungkin namja setampan aku membeli payung…”

Bibir itu tersenyum, “Aku membelinya dengan uangku sendiri. Aku tidak bisa memberikan jaketku untuk melindungimu dari hujan dan panas, jadi aku membelikanmu payung itu. Aku juga berharap kau bisa menuju ke tempat yang kau inginkan dengan sepasang sepatu itu. Dan cepat cari kekasih sebelum kau menjadi perawan tua!”

Hatiku pecah berantakan, tidak mampu membalas candanya. Aku benar-benar ingin menangis sekarang. Kalian pernah berada di neraka dan surga sekaligus? Saat ini aku sepertinya ada di sana. Aku bahagia dengan pemberiannya, namun juga sakit.

“Gomawo, Tae ah… Berjanjilah kau akan selalu baik-baik aja,” pintaku.

“Kenapa tiba-tiba…”

“Hanya, katakan saja kau akan selalu baik-baik saja.”

“Araseo, jangan khawatir. Aku pasti akan selalu baik-baik saja.”

“Gomawo,” gumamku pelan, “baiklah, aku masuk dulu. Bye, Tae ah…”

“Yaa! Bukankah aku sudah mengatakan kalau aku membenci kalimat itu?!” marahnya.

Untuk sejenak aku terkejut, kemudian aku tersenyum padanya, “Ara…” jawabku pelan sebelum masuk kembali ke dalam kamar.

Selamat tinggal Kim Taehyung…

Karena mungkin aku tidak akan pernah kembali lagi.


******

 

Aku menatap selembar tiket penerbanganku di atas tempat tidur lalu meraih koper dan menutupnya. ini sudah menjadi keputusanku. Kutatap sekeliling ruangan yang telah kutinggali selama tiga tahun terakhir. Dengan berat hati, aku menarik koperku, menyeretnya menuju pintu. Aku masih belum memberitahu Kim Taehyung. Nanti saat sampai di bandara aku akan memberitahunya lewat pesan. Dengan begitu dia tidak akan bisa menemuiku.

Creek

Langkahku sontak terhenti saat pintu flat Taehyung tiba-tiba saja terbuka. Aku tidak menyangka kami berpapasan seperti ini. Wajahnya terlihat kusut seperti tidak tidur semalaman. Ia menatapku tajam dan aku hanya bisa terdiam.

“Aku memberimu sepasang sepatu bukan untuk membuatmu kabur dariku!”

Aku kaget dengar nada suaranya yang begitu dingin. “Mwo?”

“Kau akan pergi ke Jepang? Berapa lama?” tanyanya, “seminggu? Sebulan? Setahun?”

Suaranya terdengar marah dan aku tidak tau harus menjawab apa. “Darimana kau_”

“JAWAB AKU!” bentaknya.

“Ne. Aku mengikuti program pertukaran pelajar ke Jepang.”

“Wae? Kenapa mendadak? Dan kenapa tidak memberitahu apapun padaku?”

Bibirku terkunci. Lidahku terasa kelu. Bahkan untuk mengeluarkan satu huruf pun rasanya aku tak mampu.

“Apa karena kau menyukaiku sampai kau memutuskan untuk pergi dariku?”

Aku tersentak mendengarnya. Darimana dia…

“Benar?” tatapnya, menuntut jawaban.

“Nu-nugu? Siapa yang memberitahumu?”

“Bodoh kalau aku sama sekali tidak menyadarinya. Kau pikir aku tidak tau? Sekarang aku ingin mendengar dengan bibirmu sendiri. Apa kau mencintaiku?”

‘Setidaknya kau harus mengatakannya sekali sebelum kau pergi…’

Kalimat Young Eun terdengar dalam ruang kepalaku. Mungkin gadis itu juga yang memberitahu Taehyung bahwa aku akan pergi ke Jepang. Kutatap namja yang sedang menunggu jawaban itu, “Kalau aku mengatakan ‘saranghae’ itu sama artinya dengan aku mengatakan ‘goodbye’. Karena itu aku akan mengatakannya nanti. Saat aku sudah siap untuk melepasmu. Untuk sekarang, hanya berpura-pura lah kau tidak tau apapun,” Senyumku, “Jaga dirimu baik-baik, Tae ah. Jangan sakit.”

Kim Taehyung mematung di tempatnya dan aku tidak punya alasan untuk tetap tinggal. Kutarik koperku melangkah pergi.

Kalau ini bukan cinta, mengapa terasa begitu sakit saat meninggalkannya?

Apa arti kata tanya yang tak memiliki jawaban?

Apa pula arti sayang yang tak bertuan?


******

 

1 year later

Gerimis itu belum berhenti sejak tiga jam yang lalu. Membuat kelopak bunga sakura jatuh berguguran. Ini hujan di musim semi, dan biasanya sangat jarang terjadi.

Gadis itu hendak meraih cangkir mocha late-nya saat ponselnya berdering memberitahukan ada email yang masuk. Tangannya kemudian beralih untuk mengambil ponsel yang terletak tidak jauh dari cangkir itu.

Park Young Eun. Bibirnya tersenyum saat membaca nama si pengirim email. Ini sudah lama sekali, hampir tiga bulan mereka tidak saling mengirim pesan.

To : Kim Yoon Hye

Re : Bagaimana kabarmu?

 

Ini sudah lama sekali, bagaimana kabarmu? Sekarang aku bekerja menjadi hairstyle artis di sebuah agency besar. Tiga minggu lagi aku akan ke Jepang karena ada konser di sana. Kuharap kita bisa bertemu.

Kau tau, aku sering bertemu dengannya sekarang. Dan dia juga sering menanyakanmu. Aku tidak bisa memberitahunya banyak karena aku juga tidak tau bagaimana keadaanmu sekarang. Ini menyebalkan, tapi mendadak aku seperti menjadi teman minumnya. Tentu saja, dia mencariku hanya ketika dia sedang tidak baik.

Aku ingin menyampaikanmu satu hal, tapi aku takut. Kalau tidak keberatan, buka akun sns-nya dan kau akan menemukan sesuatu yang menarik. Aku yakin kau sudah tau seberapa jauh dia terbang sekarang.

Well, kita berbicara lagi saat kita bertemu langsung nanti. Kau harus menemuiku, araseo?!

Aku tersenyum membaca pesannya. Tentu saja aku tau bagaimana dia sekarang. Menjadi salah satu member Boyband terkenal. Seluruh dunia mengenalnya. Terutama para yeoja. Aku tau dia akan terbang tinggi dalam hidupnya. Membuatku bisa melihatnya di mana-mana. Termasuk akun sns-nya. Karena pernah sekali waktu, dia menulis sesuatu di akun itu untukku.

BTS_official@twitter “Tidak terasa sudah satu tahun… Aku merindukanmu, Little Marmut.”

Ada kehangatan yang mengalir dalam hatiku ketika aku membacanya. Fakta bahwa dia masih mengingatku, membuatku bahagia. Tentu saja, karena bagiku dia yang pertama.

Yang pertama membuatku merasakan hidup. Yang membuatku menginginkan maya menjadi nyata dan mimpi menjadi pasti. Seseorang yang pertama kalinya membuatku berdoa pada tuhan untuk menjadikannya milikku dan seseorang yang pertama kalinya membuatku tau apa arti kata ‘ingin’ itu.

Aku tau dia menyayangiku karena perasaan tulus itu tersampaikan pada hatiku. Sekarang ketika aku mendengar namanya, atau mengingat tentangnya, hanya ada perasaan hangat yang mampu menarik kedua sudut di bibirku.

Dia pernah ada dalam hidupku, dan aku tidak akan lupa hal itu. Mungkin benar bahwa waktu adalah hal paling egois yang pernah ada. Karena waktu bisa merubah kita sementara kita tidak bisa merubah waktu. Waktu juga yang mendekapku, hingga kini saat menatapnya rasa sakit itu tidak pernah ada. Juga karena ada orang lain yang sudah membalut luka di hatiku.

Seseorang yang dengannya kumulai lukisan pada kanvas baru. Seseorang yang membuatku menjadi satu-satunya secara utuh. Seseorang yang dengannya kuserahkan hidupku. Tanpa ragu.

“Yoon ah! Sudah lama menunggu?”

Aku mengerjap pelan. Tersadar dari lamunanku. Dan dia saat ini ada di hadapanku. Duduk sambil meraih cangkir mocha late-ku lalu meneguknya. Aku tersenyum menatapnya, “sudah selesai?”

“Aku benci meeting seperti ini.”

“Wae?”

“Yeoja itu selalu mencari perhatianku bahkan ketika dalam rapat. Apa boleh buat, orang tampan sepertiku memang banyak yang tertarik.”

Aku mendecih pelan, “bukankah kau menikmatinya?”

“Asal bukan aku yang menggoda.”

“YAA, Cho Kyuhyun!!”

Dia tertawa sambil menjitak kepalaku, “ayo pulang. Aku lapar.”

“Ingin mampir ke suatu tempat untuk makan?”

“Shiero! Aku ingin memakan masakanmu. Seumur hidupku. Jadi bersiap-siaplah, agashi!”

“Terserah saja,”gumamku sambil beranjak, melangkah keluar café bersamanya, “jangan salahkan aku kalau nanti kau menjadi gendut seperti babi, Tuan Cho.”

“Tidak masalah, karena kau akan tetap mencintaiku.”

“Percaya diri sekali.” Cibirku, “oh, hujan.”

“Kau membawa payung?” tanyanya sambil menatap langit yang menjatuhkan air itu.

“Tentu saja. Aku akan selalu membawanya.” Sahutku sambil mengeluarkan benda itu dari dalam tas.

Dia mengambil alih payungku lalu menarikku mendekat agar tidak basah. Memelukku dengan sebelah lengannya. Aku tersenyum. Sepatu yang diberikan Kim Taehyung benar-benar membuatku melangkah kepada orang yang tepat dan payungnya akan selalu melindungiku. Melindungi kami.

Biarlah kata ‘goodbye’ itu tidak pernah tersampaikan padanya. Karena dia salah satu hal yang ingin kujaga hingga akhir dalam memoriku. Daripada goodbye, aku lebih ingin mengucapkan kata terima kasih padanya.

Terima kasih telah hadir dalam hidupku, Kim Taehyung…

 

To : Park Young Eun

Re : Aku baik-baik saja.

 

Jepang akan selalu menjadi negara yang indah dan aku baik-baik saja. Kau sendiri bagaimana kabarmu, Young ah? Bagaimana Korea sekarang?

Aku senang mendengar kau akan ke Jepang. Dengan begitu, aku bisa memberikan undangan pernikahanku padamu. Tentu saja kau yang harus menjadi pendampingku nanti.

Sampaikan padanya bahwa aku juga merindukannya. Karena sekarang aku sudah bahagia, jadi dia juga harus bahagia. Dan ingatkan juga jangan sampai lupa pesanku, kalau tidak dia akan mati!!! Kkkkkk

Aku senang melihatnya bisa meraih apa yang diinginkannya. Karena aku hanya ingin dia seperti kupu-kupu yang terbang tinggi dengan bebas.

Dan aku akan selalu melihatnya dari sini. Sesederhana itu.

 

******

FIN

 

 

Huaaaaaaa…. setelah lama bersemayam akhirnya saya posting lagi. masih adakah manusia di sini??? #krikkrikkrik

Baiklah… #meringis

Semoga masih ada yang mau mampir ^^